Selasa, 18 September 2007

Keadilan dan Kasih Sayang

Keadilan memainkan peranan yang penting dalam diskursus Alquran: ia merupakan kewajiban yang harus kita tunaikan kepada Tuhan, dan juga terhadap sesama manusia. Di samping itu, perintah menegakkan keadilan terkait dengan kewajiban untuk menyeru pada kebaikan dan melarang kejahatan, dan juga terkait dengan keharusan bersaksi atas nama Tuhan. Meskipun Alquran tidak menentukan unsur-unsur pembentuk keadilan, ia menekankan kemampuan manusia untuk mencapai keadilan sebagai sebuah bentuk tuntutan yang sangat unik–sebuah kewajiban yang dibebankan kepada kita semua dalam kapasitas kita sebagai khalifah Tuhan. Pada hakikatnya, Alquran menuntut sebuah komitmen terhadap tuntutan moral yang bersifat samar tapi dapat dipahami melalui intuisi, akal dan pengalaman manusia.

Perdebatan Islam tentang bagaimana pemerintah menegakkan keadilan sangat mirip dengan diskursus Barat abad ke-17 tentang karakteristik alami, atau sifat dasar manusia. Sebuah pendapat–yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun dan Ghazali–menegaskan bahwa manusia secara alamiah bersifat mudah marah, cenderung berselisih, dan tidak suka bekerja sama. Jadi, pemerintahan dibutuhkan untuk memaksa manusia bekerja sama, meskipun hal itu bertentangan dengan sifat alami mereka, dan untuk menjunjung keadilan dan kepentingan umum.

Mazhab pemikiran lainnya, misalnya al-Mawardi dan Ibn Abi al-‘Arabi, berargumen bahwa Tuhan menciptakan manusia dalam kondisi yang lemah dan membutuhkan bantuan, sehingga mereka akan membangun sebuah kerja sama ketika terdesak; kerja sama itu akan membatasi ketidakadilan dengan cara membatasi kekuasaan yang kuat, dan melindungi hak yang lemah. Pendapat yang lain mengatakah bahwa Tuhan menciptakan manusia berbeda satu sama lain, sehingga mereka akan saling membutuhkan untuk mencapai tujuannya. Menurut pandangan mazhab ini, manusia pada dasarnya menghendaki keadilan dan cenderung bekerja sama untuk mencapainya. Sekalipun jika manusia mengeksploitasi anugerah Tuhan berupa kecerdasan dan tuntunan Tuhan berupa hukum-hukum-Nya, melalui kerja sama mereka bisa mencapai tingkat keadilan dan kepuasan moral yang lebih tinggi. Kemudian seorang penguasa diangkat ke tampuk kekuasaannya melalui sebuah kontrak dengan rakyatnya, yang atas dasar kontrak tersebut ia setuju untuk meningkatkan kerja sama yang telah terjalin dalam masyarakatnya dengan tujuan membangun sebuah masyarakat yang adil.

Ketika merenungkan tuntutan untuk menegakkan keadilan, kita perlu memperhatikan argumentasi hukum tentang keragaman dan kerja sama manusia. Alquran mengatakan bahwa Tuhan telah menciptakan manusia berbeda-beda dan menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka dapat saling mengenal satu sama lain. Para ahli hukum Muslim berargumen bahwa ungkapan “saling mengenal satu sama lain” menunjukkan perlunya kerja sama sosial dan tolong menolong untuk mencapai keadilan (Q.S. 49:13). Alquran juga mencatat bahwa manusia selalu memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya hingga akhir zaman. Ia juga menjelaskan bahwa realitas keberagaman manusia merupakan bagian dari kebijaksanaan Tuhan dan maksud penciptaan: “Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia mejadikan umat manusia yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat …” (Q.S. 11:118).

Penghargaan dan pengakuan Alquran tentang keberagaman manusia memadukan keberagaman tersebut ke dalam proses pencapaian keadilan yang dicita-citakan dan menciptakan berbagai kemungkinan komitmen yang beragam dalam Islam modern. Komitmen tersebut dapat dikembangkan menjadi sebuah etika yang menghargai perbedaan dan hak manusia untuk berbeda, termasuk hak untuk memeluk agama atau keyakinan non-agama yang berbeda. Pada tataran politis, hal tersebut dapat dikembangkan menjadi sebuah keyakinan normatif yang memandang keadilan dan keberagaman sebagai nilai keadilan yang paling asasi yang harus dilindungi oleh tatanan konsitusi yang demokratis. Lebih jauh lagi, ia dapat dikembangkan menjadi sebuah gagasan tentang kekuasaan mandataris, di mana seorang penguasa diberi amanat untuk menjaga nilai keadilan yang paling asasi dengan menjamin hak untuk berkumpul, bekerja sama dan berbeda pendapat. Lebih jauh lagi, gagasan tentang pembatasan dapat dikembangkan untuk menghalangi pemerintah agar tidak merusak upaya pencarian keadilan atau tidak mengekang hak rakyat untuk bekerja sama, atau berbeda pendapat, dalam rangka mencari keadilan itu. Penting untuk saya catat, jika pemerintah gagal melaksanakan kewajiban yang tertuang dalam kontrak, maka ia kehilangan legitimasi kekuasaannya.

Namun, sayangnya terdapat beberapa faktor yang membatasi terlaksananya kemungkinan-kemungkinan tersebut dalam Islam modern. Pada tataran teologis dan filosofis, unsur-unsur keadilan tidak diteliti secara cermat dalam doktrin Islam. Penjelasan tentang pembatasan itu terletak pada perbedaan mendasar dalam memahami karakteristik keadilan itu sendiri. Apakah hukum Tuhan membatasi keadilan, atau apakah keadilan membatasi hukum Tuhan? Jika kita mengambil pendapat pertama, maka apapun yang kita pahami sebagai hukum Tuhan, di sanalah terdapat keadilan. Tapi jika kita mengambil pendapat kedua, maka apapun yang dituntut oleh keadilan pada kenyataannya ia juga merupakan tuntutan Tuhan.

Jika kita dapat mengetahui apa yang dituntut oleh keadilan dengan cara menentukan hukum Tuhan, maka kita tidak perlu melakukan berbagai upaya untuk mengetahui tuntutan keadilan–apakah keadilan yang dimaksud bermakna kesetaraan kesempatan atau hasil, atau membangun otonomi individu, atau memaksimalkan kemanfaatan kolektif, atau melindungi kehormatan dasar manusia. Jika hukum Tuhan lebih didahulukan dari pada keadilan, maka masyarakat yang adil bukan lagi merupakan persoalan tentang hak berbicara dan berkumpul, atau hak untuk menggali berbagai sarana menuju keadilan, tapi semata tentang penerapan hukum Tuhan.

Seandainya kita menerima pentingnya keadilan dalam diskursus Alquran, gagasan tentang kekhalifahan manusia, dan gagasan bahwa tugas untuk menegakkan keadilan telah dibebankan kepada manusia secara umum, maka kesimpulan yang masuk akal adalah bahwa nilai keadilan harus mengendalikan dan memandu semua upaya penafsiran dan pemahaman hukum Tuhan. Hal ini menuntut adanya sebuah perubahan paradigma dalam pemikiran Islam. Menurut saya, keadilan merupakan perintah Tuhan, dan mewakili kedaulatan Tuhan. Tuhan menggambarkan diri-Nya sebagai Yang Maha Adil, dan Alquran menegaskan bahwa Tuhan telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang (Q.S. 6:12, 54). Lebih jauh lagi, maksud sebenarnya dari diturunkannya pesan Tuhan kepada Nabi Muhammad adalah sebagai bentuk pemberian kasih sayang Tuhan kepada seluruh manusia.[i]

Dalam diskursus Islam kasih sayang Tuhan bukan sekedar pengampunan, bukan juga kesediaan untuk mengabaikan kesalahan dan dosa manusia,[ii] tapi merupakan kondisi di mana seseorang mampu berbuat adil terhadap dirinya sendiri atau orang lain, dengan memberikan hak yang semestinya kepada setiap individu. Secara mendasar bisa dikatakan bahwa kasih sayang Tuhan terikat erat dengan sikap empati terhadap sesama–itulah sebabnya dalam Alquran, kasih sayang Tuhan disandingkan dengan perlunya manusia bersikap sabar dan toleran terhadap sesamanya.[iii] Yang paling penting lagi adalah bahwa dalam diskursus Alquran, keberagaman dan perbedaan di antara sesama manusia merupakan bentuk rahmat Tuhan kepada seluruh manusia (Q.S. 11:119).[iv] Persepsi yang memungkinkan seseorang memahami, menghargai, dan memperkaya dirinya dengan keberagaman manusia merupakan salah satu unsur penting untuk membentuk masyarakat yang adil dan untuk mencapai keadilan. Tuntutan Tuhan kepada manusia secara umum dan kepada umat Islam secara khusus adalah, seperti yang dinyatakan dalam Alquran, “untuk mengenal satu sama lain,” dan memanfaatkan pengetahuan itu untuk mewujudkan keadilan.

Jadi, dari sudut pandang tersebut, mandat Tuhan bagi pemerintahan Islam adalah untuk mewujudkan keadilan dengan berlandaskan kasih sayang. Meskipun hidup bersama dalam kedamaian merupakan syarat utama untuk tumbuhnya kasih sayang, untuk mewujudkan pengenalan terhadap sesama dan untuk mencapai keadilan, manusia perlu bekerja sama mewujudkan kebaikan dan keindahan, dengan cara mengembangkan diskursus moral yang terencana. Menerapkan aturan-aturan hukum semata, sekalipun jika aturan-aturan semacam itu merupakan hasil dari penafsiran terhadap kitab suci, belum dipandang cukup untuk mewujudkan kasih sayang–kemampuan alami untuk memahami sesama–atau, terutama, keadilan.

Jadi, prinsip kasih sayang dan keadilan merupakan tuntutan utama Tuhan, dan kedaulatan Tuhan terletak pada kenyataan bahwa Tuhan adalah pemegang otoritas yang mendelegasikan kepada manusia tugas untuk mewujudkan keadilan di muka bumi dengan menjalankan nilai-nilai yang mendekati sifat-sifat ketuhanan.[v] Konsep tentang kedaulatan Tuhan ini tidak menggantikan peran manusia melalui tuntutan penegakan hukum Tuhan secara mekanis, tapi konsep tersebut justru menyalurkan peran manusia dan bahkan mengedepankan peran tersebut sejauh ia dapat memberikan sumbangsih terhadap terwujudnya keadilan. Penting untuk saya catat bahwa menurut diskursus hukum kita tidak mungkin mencapai keadilan kecuali jika setiap orang diberikan hak secara semestinya. Tantangan bagi manusia sebagai khalifah Tuhan adalah bagaimana ia mengakui bahwa ada sebuah hak, memahami siapa yang memiliki hak semacam itu, dan akhirnya memastikan bahwa pemiliknya telah menikmati haknya. Sebuah masyarakat yang gagal dalam melaksanakan tugas tersebut–tidak peduli berapa banyak aturan yang telah diterapkan–bukanlah masyarakat yang diliputi kasih sayang atau keadilan. Pembahasan ini membawa kita pada pembahasan seputar kemungkinan adanya hak individu dalam Islam.



[i] Q.S. 21:107, yang ditujukan kepada Nabi, berbunyi: “Tidaklah Kami mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam.” Lihat juga Q.S. 16:89. Pada kenyataannya, Alquran menggambarkan bahwa keseluruhan pesan Islam dilandasi oleh rahmat dan kasih sayang. Islam diutus untuk mengajarkan dan menegakkan nilai-nilai tersebut di tengah-tengah manusia. Saya percaya bahwa bagi orang-orang Islam, hal tersebut menciptakan sebuah tugas normatif untuk menyebarkan kasih sayang (Q.S. 27:77; 29:51; 45:20). Tapi mengajarkan cinta kasih mustahil dilakukan kecuali jika kita telah mengetahuinya, dan pengetahuan semacam itu tidak dapat dibatasi pada teks semata. Ta‘aruf (mengenal sesama) yang dilandasai dengan etika kepedulian inilah yang dapat membuka pintu pengetahuan tentang kasih sayang, dan kemudian mengajarkannya kepada orang lain.

[ii] Dalam istilah Alquran, rahma (kasih sayang) tidak terbatas pada maghfira (pengampunan).

[iii] Secara eksplisit Alquran memerintahkan manusia untuk memperlakukan sesama dengan kesabaran dan kasih sayang (Q.S. 90:17) dan tidak melanggar batas kewenangan mereka dengan mengklaim telah mengetahui siapa yang berhak memperoleh kasih sayang Tuhan dan siapa yang tidak (Q.S. 43:32). Teori moral Islam yang berfokus pada kasih sayang sebagai sebuah nilai melengkapi etika kepedulian (ethic of care) yang dikembangkan dalam teori moral Barat.

[iv] Gagasan ini juga dicontohkan dalam sebuah hadis yang dinisbatkan kepada Nabi yang menegaskan bahwa perbedaan dan keberagaman pendapat umat Islam merupakan sumber kasih sayang Tuhan kepada orang-orang Islam.

[v] Tentu saja, mendekati Tuhan tidak berarti bercita-cita menjadi Tuhan. Mendekati Tuhan berarti mencerminkan keindahan dan nilai-nilai ilahi, dan berjuang untuk mewujudkan sebanyak mungkin keindahan dan nilai-nilai tersebut. Saya memulainya dengan sebuah asumsi teologis bahwa Tuhan tidak dapat dipahami oleh akal manusia. Namun, Tuhan mengajarkan nilai-nilai moral yang memancar dari sifat Tuhan, dan nilai-nilai itu juga terpancar pada ciptaan-Nya. Dengan merenungkan keindahan ilahi semaksimal mungkin, manusia dapat mendekati Tuhan dengan lebih baik. Semakin besar kemampuan manusia menghubungkan dirinya pada kebaikan, keadilan, kasih sayang dan keseimbangan, yang menjadi perwujudan Tuhan, semakin besar kemampuannya untuk mencerminkan, atau menggambarkan sifat-sifat Tuhan, dan semakin besar kemampuannya untuk membentuk rasa keindahan dan kebijakan yang mendekati keindahan dan kebijakan Tuhan.

Keadilan dan Kasih Sayang

Keadilan memainkan peranan yang penting dalam diskursus Alquran: ia merupakan kewajiban yang harus kita tunaikan kepada Tuhan, dan juga terhadap sesama manusia. Di samping itu, perintah menegakkan keadilan terkait dengan kewajiban untuk menyeru pada kebaikan dan melarang kejahatan, dan juga terkait dengan keharusan bersaksi atas nama Tuhan. Meskipun Alquran tidak menentukan unsur-unsur pembentuk keadilan, ia menekankan kemampuan manusia untuk mencapai keadilan sebagai sebuah bentuk tuntutan yang sangat unik–sebuah kewajiban yang dibebankan kepada kita semua dalam kapasitas kita sebagai khalifah Tuhan. Pada hakikatnya, Alquran menuntut sebuah komitmen terhadap tuntutan moral yang bersifat samar tapi dapat dipahami melalui intuisi, akal dan pengalaman manusia.

Perdebatan Islam tentang bagaimana pemerintah menegakkan keadilan sangat mirip dengan diskursus Barat abad ke-17 tentang karakteristik alami, atau sifat dasar manusia. Sebuah pendapat–yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun dan Ghazali–menegaskan bahwa manusia secara alamiah bersifat mudah marah, cenderung berselisih, dan tidak suka bekerja sama. Jadi, pemerintahan dibutuhkan untuk memaksa manusia bekerja sama, meskipun hal itu bertentangan dengan sifat alami mereka, dan untuk menjunjung keadilan dan kepentingan umum.

Mazhab pemikiran lainnya, misalnya al-Mawardi dan Ibn Abi al-‘Arabi, berargumen bahwa Tuhan menciptakan manusia dalam kondisi yang lemah dan membutuhkan bantuan, sehingga mereka akan membangun sebuah kerja sama ketika terdesak; kerja sama itu akan membatasi ketidakadilan dengan cara membatasi kekuasaan yang kuat, dan melindungi hak yang lemah. Pendapat yang lain mengatakah bahwa Tuhan menciptakan manusia berbeda satu sama lain, sehingga mereka akan saling membutuhkan untuk mencapai tujuannya. Menurut pandangan mazhab ini, manusia pada dasarnya menghendaki keadilan dan cenderung bekerja sama untuk mencapainya. Sekalipun jika manusia mengeksploitasi anugerah Tuhan berupa kecerdasan dan tuntunan Tuhan berupa hukum-hukum-Nya, melalui kerja sama mereka bisa mencapai tingkat keadilan dan kepuasan moral yang lebih tinggi. Kemudian seorang penguasa diangkat ke tampuk kekuasaannya melalui sebuah kontrak dengan rakyatnya, yang atas dasar kontrak tersebut ia setuju untuk meningkatkan kerja sama yang telah terjalin dalam masyarakatnya dengan tujuan membangun sebuah masyarakat yang adil.

Ketika merenungkan tuntutan untuk menegakkan keadilan, kita perlu memperhatikan argumentasi hukum tentang keragaman dan kerja sama manusia. Alquran mengatakan bahwa Tuhan telah menciptakan manusia berbeda-beda dan menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka dapat saling mengenal satu sama lain. Para ahli hukum Muslim berargumen bahwa ungkapan “saling mengenal satu sama lain” menunjukkan perlunya kerja sama sosial dan tolong menolong untuk mencapai keadilan (Q.S. 49:13). Alquran juga mencatat bahwa manusia selalu memiliki perbedaan antara satu dengan yang lainnya hingga akhir zaman. Ia juga menjelaskan bahwa realitas keberagaman manusia merupakan bagian dari kebijaksanaan Tuhan dan maksud penciptaan: “Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia mejadikan umat manusia yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat …” (Q.S. 11:118).

Penghargaan dan pengakuan Alquran tentang keberagaman manusia memadukan keberagaman tersebut ke dalam proses pencapaian keadilan yang dicita-citakan dan menciptakan berbagai kemungkinan komitmen yang beragam dalam Islam modern. Komitmen tersebut dapat dikembangkan menjadi sebuah etika yang menghargai perbedaan dan hak manusia untuk berbeda, termasuk hak untuk memeluk agama atau keyakinan non-agama yang berbeda. Pada tataran politis, hal tersebut dapat dikembangkan menjadi sebuah keyakinan normatif yang memandang keadilan dan keberagaman sebagai nilai keadilan yang paling asasi yang harus dilindungi oleh tatanan konsitusi yang demokratis. Lebih jauh lagi, ia dapat dikembangkan menjadi sebuah gagasan tentang kekuasaan mandataris, di mana seorang penguasa diberi amanat untuk menjaga nilai keadilan yang paling asasi dengan menjamin hak untuk berkumpul, bekerja sama dan berbeda pendapat. Lebih jauh lagi, gagasan tentang pembatasan dapat dikembangkan untuk menghalangi pemerintah agar tidak merusak upaya pencarian keadilan atau tidak mengekang hak rakyat untuk bekerja sama, atau berbeda pendapat, dalam rangka mencari keadilan itu. Penting untuk saya catat, jika pemerintah gagal melaksanakan kewajiban yang tertuang dalam kontrak, maka ia kehilangan legitimasi kekuasaannya.

Namun, sayangnya terdapat beberapa faktor yang membatasi terlaksananya kemungkinan-kemungkinan tersebut dalam Islam modern. Pada tataran teologis dan filosofis, unsur-unsur keadilan tidak diteliti secara cermat dalam doktrin Islam. Penjelasan tentang pembatasan itu terletak pada perbedaan mendasar dalam memahami karakteristik keadilan itu sendiri. Apakah hukum Tuhan membatasi keadilan, atau apakah keadilan membatasi hukum Tuhan? Jika kita mengambil pendapat pertama, maka apapun yang kita pahami sebagai hukum Tuhan, di sanalah terdapat keadilan. Tapi jika kita mengambil pendapat kedua, maka apapun yang dituntut oleh keadilan pada kenyataannya ia juga merupakan tuntutan Tuhan.

Jika kita dapat mengetahui apa yang dituntut oleh keadilan dengan cara menentukan hukum Tuhan, maka kita tidak perlu melakukan berbagai upaya untuk mengetahui tuntutan keadilan–apakah keadilan yang dimaksud bermakna kesetaraan kesempatan atau hasil, atau membangun otonomi individu, atau memaksimalkan kemanfaatan kolektif, atau melindungi kehormatan dasar manusia. Jika hukum Tuhan lebih didahulukan dari pada keadilan, maka masyarakat yang adil bukan lagi merupakan persoalan tentang hak berbicara dan berkumpul, atau hak untuk menggali berbagai sarana menuju keadilan, tapi semata tentang penerapan hukum Tuhan.

Seandainya kita menerima pentingnya keadilan dalam diskursus Alquran, gagasan tentang kekhalifahan manusia, dan gagasan bahwa tugas untuk menegakkan keadilan telah dibebankan kepada manusia secara umum, maka kesimpulan yang masuk akal adalah bahwa nilai keadilan harus mengendalikan dan memandu semua upaya penafsiran dan pemahaman hukum Tuhan. Hal ini menuntut adanya sebuah perubahan paradigma dalam pemikiran Islam. Menurut saya, keadilan merupakan perintah Tuhan, dan mewakili kedaulatan Tuhan. Tuhan menggambarkan diri-Nya sebagai Yang Maha Adil, dan Alquran menegaskan bahwa Tuhan telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang (Q.S. 6:12, 54). Lebih jauh lagi, maksud sebenarnya dari diturunkannya pesan Tuhan kepada Nabi Muhammad adalah sebagai bentuk pemberian kasih sayang Tuhan kepada seluruh manusia.[i]

Dalam diskursus Islam kasih sayang Tuhan bukan sekedar pengampunan, bukan juga kesediaan untuk mengabaikan kesalahan dan dosa manusia,[ii] tapi merupakan kondisi di mana seseorang mampu berbuat adil terhadap dirinya sendiri atau orang lain, dengan memberikan hak yang semestinya kepada setiap individu. Secara mendasar bisa dikatakan bahwa kasih sayang Tuhan terikat erat dengan sikap empati terhadap sesama–itulah sebabnya dalam Alquran, kasih sayang Tuhan disandingkan dengan perlunya manusia bersikap sabar dan toleran terhadap sesamanya.[iii] Yang paling penting lagi adalah bahwa dalam diskursus Alquran, keberagaman dan perbedaan di antara sesama manusia merupakan bentuk rahmat Tuhan kepada seluruh manusia (Q.S. 11:119).[iv] Persepsi yang memungkinkan seseorang memahami, menghargai, dan memperkaya dirinya dengan keberagaman manusia merupakan salah satu unsur penting untuk membentuk masyarakat yang adil dan untuk mencapai keadilan. Tuntutan Tuhan kepada manusia secara umum dan kepada umat Islam secara khusus adalah, seperti yang dinyatakan dalam Alquran, “untuk mengenal satu sama lain,” dan memanfaatkan pengetahuan itu untuk mewujudkan keadilan.

Jadi, dari sudut pandang tersebut, mandat Tuhan bagi pemerintahan Islam adalah untuk mewujudkan keadilan dengan berlandaskan kasih sayang. Meskipun hidup bersama dalam kedamaian merupakan syarat utama untuk tumbuhnya kasih sayang, untuk mewujudkan pengenalan terhadap sesama dan untuk mencapai keadilan, manusia perlu bekerja sama mewujudkan kebaikan dan keindahan, dengan cara mengembangkan diskursus moral yang terencana. Menerapkan aturan-aturan hukum semata, sekalipun jika aturan-aturan semacam itu merupakan hasil dari penafsiran terhadap kitab suci, belum dipandang cukup untuk mewujudkan kasih sayang–kemampuan alami untuk memahami sesama–atau, terutama, keadilan.

Jadi, prinsip kasih sayang dan keadilan merupakan tuntutan utama Tuhan, dan kedaulatan Tuhan terletak pada kenyataan bahwa Tuhan adalah pemegang otoritas yang mendelegasikan kepada manusia tugas untuk mewujudkan keadilan di muka bumi dengan menjalankan nilai-nilai yang mendekati sifat-sifat ketuhanan.[v] Konsep tentang kedaulatan Tuhan ini tidak menggantikan peran manusia melalui tuntutan penegakan hukum Tuhan secara mekanis, tapi konsep tersebut justru menyalurkan peran manusia dan bahkan mengedepankan peran tersebut sejauh ia dapat memberikan sumbangsih terhadap terwujudnya keadilan. Penting untuk saya catat bahwa menurut diskursus hukum kita tidak mungkin mencapai keadilan kecuali jika setiap orang diberikan hak secara semestinya. Tantangan bagi manusia sebagai khalifah Tuhan adalah bagaimana ia mengakui bahwa ada sebuah hak, memahami siapa yang memiliki hak semacam itu, dan akhirnya memastikan bahwa pemiliknya telah menikmati haknya. Sebuah masyarakat yang gagal dalam melaksanakan tugas tersebut–tidak peduli berapa banyak aturan yang telah diterapkan–bukanlah masyarakat yang diliputi kasih sayang atau keadilan. Pembahasan ini membawa kita pada pembahasan seputar kemungkinan adanya hak individu dalam Islam.



[i] Q.S. 21:107, yang ditujukan kepada Nabi, berbunyi: “Tidaklah Kami mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam.” Lihat juga Q.S. 16:89. Pada kenyataannya, Alquran menggambarkan bahwa keseluruhan pesan Islam dilandasi oleh rahmat dan kasih sayang. Islam diutus untuk mengajarkan dan menegakkan nilai-nilai tersebut di tengah-tengah manusia. Saya percaya bahwa bagi orang-orang Islam, hal tersebut menciptakan sebuah tugas normatif untuk menyebarkan kasih sayang (Q.S. 27:77; 29:51; 45:20). Tapi mengajarkan cinta kasih mustahil dilakukan kecuali jika kita telah mengetahuinya, dan pengetahuan semacam itu tidak dapat dibatasi pada teks semata. Ta‘aruf (mengenal sesama) yang dilandasai dengan etika kepedulian inilah yang dapat membuka pintu pengetahuan tentang kasih sayang, dan kemudian mengajarkannya kepada orang lain.

[ii] Dalam istilah Alquran, rahma (kasih sayang) tidak terbatas pada maghfira (pengampunan).

[iii] Secara eksplisit Alquran memerintahkan manusia untuk memperlakukan sesama dengan kesabaran dan kasih sayang (Q.S. 90:17) dan tidak melanggar batas kewenangan mereka dengan mengklaim telah mengetahui siapa yang berhak memperoleh kasih sayang Tuhan dan siapa yang tidak (Q.S. 43:32). Teori moral Islam yang berfokus pada kasih sayang sebagai sebuah nilai melengkapi etika kepedulian (ethic of care) yang dikembangkan dalam teori moral Barat.

[iv] Gagasan ini juga dicontohkan dalam sebuah hadis yang dinisbatkan kepada Nabi yang menegaskan bahwa perbedaan dan keberagaman pendapat umat Islam merupakan sumber kasih sayang Tuhan kepada orang-orang Islam.

[v] Tentu saja, mendekati Tuhan tidak berarti bercita-cita menjadi Tuhan. Mendekati Tuhan berarti mencerminkan keindahan dan nilai-nilai ilahi, dan berjuang untuk mewujudkan sebanyak mungkin keindahan dan nilai-nilai tersebut. Saya memulainya dengan sebuah asumsi teologis bahwa Tuhan tidak dapat dipahami oleh akal manusia. Namun, Tuhan mengajarkan nilai-nilai moral yang memancar dari sifat Tuhan, dan nilai-nilai itu juga terpancar pada ciptaan-Nya. Dengan merenungkan keindahan ilahi semaksimal mungkin, manusia dapat mendekati Tuhan dengan lebih baik. Semakin besar kemampuan manusia menghubungkan dirinya pada kebaikan, keadilan, kasih sayang dan keseimbangan, yang menjadi perwujudan Tuhan, semakin besar kemampuannya untuk mencerminkan, atau menggambarkan sifat-sifat Tuhan, dan semakin besar kemampuannya untuk membentuk rasa keindahan dan kebijakan yang mendekati keindahan dan kebijakan Tuhan.